Aku tidak ingin terjebak di antariksa. Aku ingin memburu tahi di antariksa.

“Pantai aja, deh! Kalo di gunung boker-nya susah,” menjadi jawaban yang sering kuterima dari kerabat ketika ditanya lebih suka melancong ke pantai atau ke gunung. Entah karena mereka lahir dan membesar di Indonesia yang notabene adalah negara maritim—sehingga lebih merasa akrab untuk berak di pantai—atau suara “plung” di saat tahi membelah air memang punya daya candu seperti agama.

Aku sendiri lebih suka main ke gunung daripada ke pantai. Perkara pup di mana dan bagaimana, selama ada pohon berdaun atau tisu basah mah aman-aman saja. Lagipula, meletakkan tahi di pegunungan jauh lebih mulia daripada di sekitar pantai.

Menunaikan ibadah buang air besar di pantai, kita disediakan pilihan di kamar mandi—yang kemungkinan besar akan kita pilih, atau langsung jongkok di antara air laut. Ada dua pilihan, tapi keduanya kurang mulia daripada berak di gunung. Di kamar mandi, bisa dipastikan, tahi-tahi kita akan bermuara di septic tank, lalu disedot petugas kuras WC. Setelahnya ke mana dan diapakan, aku belum tahu-menahu. Langsung jongkok di atas atau di tengah air laut, ujungnya sudah pasti: sekelompok tahi mengambang. Sementara di gunung, kita tinggal pilih pohon atau tanah mana yang ingin kita bantu agar menjadi lebih subur.

Baik di pantai atau di pegunungan, harus diakui, suka tidak suka, berak adalah kebutuhan manusia. Bahkan kebutuhan pokok. Meski hasrat melakukannya tidak muncul per dua menit sekali, mempersiapkan waktu, tempat, dan teknis berak merupakan kewajiban di itinerary jika ingin berpergian ke daerah asing, seperti ke gunung. Atau lebih ekstrem lagi, ke luar angkasa.

Sudah pasti, dong, ke luar angkasa sekali pun perlu memperhitungkan berak.

Masih di Sekolah Dasar, aku sempat bercita-cita menjadi astronaut. Beruntung, semakin dewasa, cita-cita itu aku urungkan. Di luar angkasa belum ada pohon dan tisu basah selalu tersedia. Kalau wisata ke luar angkasa hanya setengah hari, kemudian pulang ke Bumi, aku masih dapat merasa aman. Tapi buat apa pergi ke luar angkasa cuma setengah hari? Luar angkasa terlalu luas untuk dikenal dalam setengah hari saja. Bagaimana juga nasib tahi-tahi yang bersemi di angkasa? Mengambang tanpa arah atau diluncurkan ke Bumi, lalu disangka bintang jatuh?

Pertanyaan-pertanyaan terakhir membawaku pada realitas baru. Ketika memimpikan umat manusia mendarat di Bulan untuk pertama kali di tahun 1969, NASA sudah memperhitungkan matang-matang bagaimana teknis buang hajat di antariksa. Metodenya tidak akan digemari oleh penganut aliran pup dengan suara “plung”, sebab NASA hanya berikan dua saluran yang masing-masing berujung pada dua kantung dan disematkan langsung dengan seragam astronaut. Satu kantung untuk air kencing, lainnya lagi untuk tahi-tahi. Apabila kantung sudah penuh, maka dikumpulkan di kantung-kantung sampah lebih besar, bersama jenis-jenis sampah lainnya.

Lupakan urusan bilas-membilas dubur setelah boker di luar angkasa. Astronaut harus hemat menggunakan air di luar angkasa.

Yang menarik dan ironis, banyak sekali dari kantung-kantung sampah itu yang pada akhirnya masih menetap di luar Bumi hingga sekarang. Salah satu lokasi penampung sampah-sampah astronaut adalah Bulan.

Menurut Gizmodo, ada 96 kantung sampah kotoran manusia di Bulan, terdiri dari air kencing, muntah, tahi, dan lain sebagainya. Riwayat tahi-tahi di Bulan menjadi bukti konkrit ke mana pun manusia menjelajah, jejaknya selalu sama: nyampah. Ya, meskipun sebenarnya motivasi astronaut meninggalkan kantung-kantung sampah di Bulan adalah daya angkut pesawat. Sebagian besar perjalanan ke Bulan bertujuan untuk mengambil sampel batu, debu, dan material lainnya, lalu diteliti di Bumi. Kantung-kantung sampah merupakan beban-beban yang harus ditukar, agar pesawat mampu terbang pulang ke Bumi membawa kebutuhan sains.

Menariknya, tahi-tahi yang diabaikan di Bulan bisa menjadi jawaban baru atas teka-teki awal kehidupan manusia di Bumi. Tahi memang menjijikan. Hanya satu, di dalam seonggok tahi juga tersimpan ekosistem kehidupan yang besar. Sekitar 50% massa tahi disusun oleh bakteri-bakteri dan mewakili ribuan jenis mikroba di dalam tubuh kita. Penting diingat: eksistensi mikroba di Bumi sudah bermula lebih dari 3 milyar tahun lamanya, jauh sebelum hewan-hewan dan tumbuhan berevolusi seperti hari ini. Mikroba adalah awal mula evolusi yang berujung pada hadirnya manusia.

Sekarang, ketika Neil Armstrong menunaikan ibadah boker­ di luar angkasa, tanpa sengaja ia memulai eksperimen penting. Ia menguji daya hidup mikroba, penduduk asli Bumi, di lingkungan super ekstrem bernama Bulan.

Kecil atau besar, kemungkinan bakteri-bakteri di dalam tahi untuk dapat hidup di Bulan atau di antariksa selalu ada. Mikroba dapat ditemukan di mana saja di Bumi, bahkan di ekosistem paling brutal sekalipun. Ilmuwan menemukan mikroba di dasar laut paling dalam, di angkasa tinggi, di suhu -200° C, di suhu melebihi titik didih, benar-benar di mana saja. Bakteri itu tangguh. Ia tak perlu banyak hal agar hidup. Biaya hidup menjadi bakteri sungguh-sungguh murah.

Faktanya, pada penerbangan Apollo 16, NASA sempat menguji 9 macam spesies mikroba untuk hidup di antariksa. Hasilnya? Banyak yang hidup.

Pertanyaanku, seberapa tangguh, ya, bakteri-bakteri tahi menghadapi ekosistem ekstrem dan steril seperti Bulan? Apakah mikroba mampu bertahan hidup di perjalanan interstellar? Teka-teki ini membutuhkan jawaban. Teka-teki ini mampu membuka pengetahuan baru tentang asal-usul kehidupan kita di Bumi.

Jika bakteri-bakteri tahi yang diabaikan Neil Armstrong di Bulan masih bernyawa, bukan tidak mungkin jika kehidupan manusia bermula dari tahi-tahi alien. Bermula dari alien yang baru saja pup di sebuah asteroid, lantas asteroid itu menyangkut di Bumi.

54 tahun sudah berselang sejak Apollo 11 mendarat di Bulan. 54 tahun juga sudah berselang sejak tahi-tahi Neil Armstrong pertama kali pergi ke antariksa dan ditempatkan di Bulan. Sampai sekarang, tahi-tahi itu hanya duduk anteng di dalam kantung, tersebar jauh dari Bumi, padahal menyimpan petunjuk besar tentang asal-usul kehidupan. Kita harus menemukan tahi-tahi itu. Temukan, dan bawa pulang ke Bumi.

Ya Tuhan, kok aku malah ingin memburu tahi?

Kategori: