Kalau Amerika Serikat, Rusia, dan China sama-sama ingin membangun kehidupan di Bulan, bagaimana, ya, cara mereka nanti menentukan wilayah masing-masing?

Pada bulan Juni 2024 lalu, Bumi menerima foto-foto bendera China terbentang kembali di luar angkasa. Ekspedisi itu merupakan pendaratan keempat China di Bulan, namun secara bersamaan adalah misi pertama yang berhasil membawa sampel-sampel tanah dan bebatuan dari sisi terjauh Bulan, Basin Kutub Selatan Aitken. Sepanjang 2 tahun terakhir, India dan Jepang juga sukses mendaratkan wahana mereka masing-masing di permukaan Bulan—mengganggu dominasi Amerika Serikat dan Rusia atas penjelajahan antariksa.

Sementara itu, NASA terus mematangkan program Artemis yang memiliki misi membawa kembali manusia, termasuk wanita dan person of color, ke Bulan pada tahun 2027 mendatang. Menariknya, misi ini merupakan bagian dari mimpi panjang NASA mewujudkan basis operasi berkelanjutan di Bulan. Rusia dan China pun siap berkompetisi, menyatakan akan mengirim manusia kembali ke Bulan pada tahun 2030; bukan hanya untuk kunjungan singkat, tapi ikut membangun pangkalannya masing-masing.

Nah lho! Kalau Amerika Serikat, Rusia, dan China sama-sama ingin membangun kehidupan di Bulan, bagaimana, ya, cara mereka nanti menentukan wilayah masing-masing? Mengingat persaingan politik dan ekonomi di antara negara-negara berkekuatan besar ini biasa memanas, bukan tidak mungkin perlombaan di luar angkasa mampu membawa ketegangan di Bumi ke Bulan.

Apakah Bulan bisa dimiliki?

Mengacu ke kesepakatan PBB di tahun 1967, jawabannya adalah tidak—tidak ada negara yang bisa memiliki Bulan atau objek-objek antariksa lainnya. Perjanjian Luar Angkasa (Outer Space Treaty) menyebutkan bahwa Bulan dimiliki oleh semua orang, dan segala macam penjelajahan terkait benda-benda langit harus dilakukan demi kebaikan seluruh umat manusia dan kepentingan semua negara.

Menyepakati Perjanjian Luar Angkasa, kepala hukum internasional publik European Space Agency (ESA), Alexander Soucek, menjelaskan kepada DW, “Sebuah negara dapat menancapkan benderanya di permukaan Bulan, tetapi itu sama sekali tidak memiliki makna atau konsekuensi hukum. Hal ini diatur di dalam Perjanjian Luar Angkasa (Outer Space Treaty), yang menyatakan bahwa tidak ada negara yang dapat melakukan klaim kedaulatan atas Bulan atau menjadikan Bulan sebagai wilayahnya sendiri.”

Apa itu Perjanjian Luar Angkasa?

Perjanjian Luar Angkasa merupakan prinsip-prinsip atau panduan bagi negara-negara di Bumi untuk menentukan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di luar angkasa. Kesepakatan ini juga mencakup planet-planet dan benda-benda langit lainnya, seperti asteroid dan Bulan.

Resmi diinisiasi pada 27 Januari 1967 oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet, perjanjian ini diberi titel lengkap The Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies. Atau, jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Perjanjian Tentang Prinsip-Prinsip yang Mengatur Aktivitas Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Luar Angkasa, termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya.

Uniknya, dokumen Perjanjian Luar Angkasa hanya terdiri dari 17 pasal pendek. Sebagai perbandingan saja, Perjanjian Hukum Laut Internasional—kesepakatan yang mengatur penggunaan lautan di dunia—memiliki lebih dari 300 pasal.

Tapi, apakah seseorang bisa memiliki Bulan?

Meski terdengar harmonis, motivasi yang mendasari Perjanjian Luar Angkasa tidak sepenuhnya memiliki semangat kolaborasi. Melainkan ada peran diplomasi politik di masa Perang Dingin.

Setelah Perang Dunia II, ketika ketegangan di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet meningkat, muncul kecemasan bahwa ruang angkasa dapat menjadi medan pertempuran militer. Lebih dari 100 negara lalu sepakat untuk membangun kerja sama, menandatangani cita-cita berkolaborasi menjelajah antariksa. Per tahun 2019, sudah ada 109 negara terikat Perjanjian Luar Angkasa.

Namun ekspedisi ke antariksa hari ini telah memasuki era baru. Berbeda dari sebelumnya, Amerika Serikat dan Rusia bukan lagi satu-satunya entitas berkekuatan besar di bidang sains, teknologi, astronomi, politik, serta ekonomi. Pun sejumlah perusahaan global kini memiliki potensi besar untuk ikut mendarat di Bulan.

Kecepatan eksplorasi ke luar angkasa terus meningkat eksponensial, kelak melampaui segala hukum dan kesepakatan yang kita miliki hari ini. Hubungan umat manusia dengan Bulan akan berubah secara kolektif, juga mendasar. Apa jadinya, ya, jika seorang manusia, bukan atas nama negara atau organisasi berasaskan politik, mengekstraksi material Bulan? Apakah mereka bisa memiliki material itu dan menjualnya?

“Negara X atau Y mungkin mengatakan mereka tidak tertarik melakukan klaim terhadap Bulan sebagai wilayah nasional, namun mereka tertarik memiliki material yang diambil dari Bulan atau Mars, dan menjualnya kembali ke Bumi,” jelas Soucek, masih kepada DW. Faktanya, inisiatif klaim oleh individu dan usaha-usaha komersialisasi terhadap Bulan sudah pernah terjadi acap kali, meski Perjanjian Luar Angkasa belum pernah sekali pun dibatalkan.

Pada tahun 1996, seorang warga negara Jerman, Martin Juergens, pernah menyatakan klaim bahwa Bulan adalah milik keluarganya. Ia berargumen jika salah satu raja Prusia, Frederick the Great, telah memberi Bulan kepada leluhurnya pada tahun 1756 sebagai hadiah pengabdian. Juergens kemudian mengajukan petisi kepada pemerintah Jerman agar membawa klaim ini ke Amerika Serikat. Hanya saja, baik Jerman atau Amerika Serikat tidak mengambil tindakan apa-apa terkait petisi itu.

Selain Juergens, Dennis Hope, pengusaha real estate dan properti, turut mencoba peruntungannya “menjual” Bulan. Melalui perusahaannya, Lunar Embassy, ia menjual beberapa bidang tanah di Bulan dan Mars. Meyakini dirinya telah menemukan celah dalam Perjanjian Luar Angkasa, Hope menjual Bulan seharga $25 per hektar. Dia mengaku telah berhasil menjual lebih dari 611 juta hektar tanah di Bulan sejak tahun 1980-an.

Cuma, lagi-lagi, sayangnya, dengan risiko mengecewakan para pemilik yang bangga, segala klaim atas kepemilikan tanah di Bulan akan runtuh seketika pada saat berhadapan dengan perjanjian internasional. Apalagi, selain Lunar Embassy, ada banyak perusahaan properti lain melakukan klaim serta “jual-beli” atas bidang tanah yang sama di Bulan.

Kepemilikan Bulan bergantung kepada pembaruan perjanjian

Melalui salah satu esainya di The Conversation, Dr. Jill Stuart, ahli politik, etik, dan hukum eksplorasi serta eksploitasi luar angkasa, berargumen jika sudah saatnya Perjanjian Luar Angkasa diperbarui. Bukan sebagai langkah hukum agar mengizinkan seseorang atau negara dapat memiliki Bulan secara legal, namun menutup celah-celah eksploitasi karena perjanjian ini masih terlalu sederhana, berfokus kepada entitas negara saja, dan sudah tidak relevan dengan ekspedisi-ekspedisi antariksa modern.

Menurutnya, meski ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembaruan Perjanjian Luar Angkasa, salah satu hal paling substansial adalah kesepakatan bahwa antariksa harus tetap dimanfaatkan untuk “tujuan damai”—senjata pemusnah massal tidak dapat digunakan sama sekali. Alasan lain adalah wilayah-wilayah di angkasa (termasuk Bulan, Mars, dan benda-benda langit lainnya), tidak boleh tunduk terhadap klaim oleh negara, organisasi, kelompok, atau individu.

Akibat kurang mendetail dan spesifik, kedua poin di atas telah menjadi sasaran eksploitasi sejak Perjanjian Luar Angkasa berlaku. Tidak hanya oleh individu seperti Juergens dan Hope, tapi oleh negara-negara di dunia juga.

Contoh pertamanya, Deklarasi Bogota pada tahun 1976, ketika delapan negara mencoba untuk mengklaim kepemilikan segmen-segmen orbit yang terbentang di atas wilayah negara-negara mereka. Delapan negara itu percaya jika segmen-segmen orbit itu berbeda makna dengan definisi “luar angkasa” berdasarkan Perjanjian Luar Angkasa; oleh karena itu merupakan sumber daya alam negara—walau begitu, komunitas internasional menolak klaim tersebut.

Contoh kedua, pada tahun 2007, China dianggap mengabaikan Perjanjian Luar Angkasa ketika menembak jatuh salah satu satelit cuacanya sendiri dengan rudal balistik jarak menengah. Jepang menilai sikap itu cukup agresif, namun karena rudal tersebut tidak dikategorikan sebagai “senjata pemusnah massal”, maka China dilihat tidak benar-benar melanggar perjanjian—hanya mendapat kecaman internasional akibat puing-puing satelit yang berkecamuk di angkasa.

Mengingat adanya celah dan tantangan hukum yang nyata, pembaruan Perjanjian Luar Angkasa idealnya menjadi prioritas terbaru bagi negara-negara pemimpin eksplorasi antariksa. Mengiringi cita-cita membangun basis operasinya masing-masing di Bulan, bukan tidak mungkin, kompetisi yang hari ini masih terjadi di Bumi, kelak ikut mengudara ke angkasa.

Pembaruan perjanjian bukan cuma memastikan kepemilikan Bulan—dan benda-benda langit lainnya—tetap independen, tapi juga mencerminkan perkembangan kondisi politik, teknologi, dan komersialisasi perjalanan ke luar angkasa.

Kategori: