Apakah kita—umat manusia—sudah mampu menerima dan mengolah bukti-bukti definitif bahwa kehidupan asing di luar Bumi adalah benar?
Pada akhir Desember 2022, editor The Guardian, Ian Sample, menulis artikel menarik tentang alien. Premisnya sederhana, tapi ampuh membuat kepalaku sakit dan merenung selama 30 menit di toilet tanpa smartphone. Ia bertanya, jika alien berhasil ditemukan atau menginisiasi kontak dengan kehidupan di Bumi, siapa yang pantas menentukan manusia harus berbuat apa?
Sial sekali, aku belum pernah berpikir soal-soal dasar seperti itu.
Aku menduga pertanyaan Sample dipantik oleh tumbuhnya lagi antusias publik terhadap alien di kurang lebih dua tahun terakhir. Entah siapa atau apa pemicunya, pembicaraan serius mengenai UFO dan extraterrestial life kembali menemukan tempatnya di keseharian kita. Amerika Serikat bahkan menginisiasi kongres UFO serta merilis portal online untuk menerima laporan terkait fenomena ganjil di angkasa, sementara Meksiko menggelar “pameran” alien.
Meski pameran alien di Meksiko lebih pantas disebut pameran jenglot, dan kongres UFO di Amerika Serikat belum mampu membuktikan keberadaan alien, akan gegabah untuk betul-betul menolak eksistensi kehidupan asing di luar Bumi. Mengacu kepada Carl Sagan, ruang hampa sungguh luas kalau dikoloni oleh umat manusia saja.
Tapi pada saat bersamaan, kegiatan verifikasi ilmiah dan distribusi informasi akurat atas fenomena UFO juga harus dilakukan.
Cuma satu, apakah kita—umat manusia—sudah mampu menerima dan mengolah bukti-bukti definitif bahwa kehidupan asing di luar Bumi adalah benar? Atau sebaliknya, apakah kisah-kisah alien dapat memberi petunjuk soal iklim sosial kita hari ini? Apa yang dilakukan oleh gagasan-gagasan tentang alien terhadap budaya berpikir, serta berimajinasi kita secara kolektif?
Siapa yang menciptakan alien dan UFO?
Manusia sudah melihat objek-objek misterius di angkasa selama berabad-abad. Mulai dari kapal laut besar di atas reruntuhan Clonmacnoise, hingga pesawat segitiga hitam di langit Nuremberg pada tahun 1561. Secara keseluruhan, peneliti UFO, Jacques Vallée, menemukan lebih dari 60 laporan tentang fenomena asing di angkasa yang terjadi sebelum abad ke-19.
Selama bertahun-tahun juga, sebagian besar orang-orang yang belum pernah menyaksikan fenomena asing di angkasa tetap penasaran dengan alien. Brenda Denzler menjelaskan cukup baik tentang rasa ingin tahu manusia terhadap keberadaan alien. Menurutnya, sejak ilmu pengetahuan berhasil menulis ulang pemahaman kolektif atas kosmos, diikuti oleh penghapusan Tuhan dari ide-ide ilmiah, manusia modern menjadi yatim piatu dan terus bertanya, “Apa iya kita cuma sendirian di alam semesta?”
Hanya saja, percakapan seputar alien belum pernah menyentuh publik secara mendalam sampai pada akhirnya industri media massa di Amerika Serikat berkembang pesat—di sekitar pertengahan abad ke-19. Tahun-tahun terakhir di milenium itu diramaikan oleh klaim pertemuan dengan alien dan UFO, baik yang mendekati kebenaran atau jelas sekali dibuat-buat.
Beberapa pakar sepakat jika liputan-liputan UFO modern dimulai pada tahun 1947, ketika seorang pilot bernama Kenneth Arnold terbang di atas Washington dan menyaksikan 9 objek berkilau terbang misterius di udara.
Selama beberapa tahun selanjutnya, Amerika Serikat mengalami gelombang masif penampakan UFO. Agen pemerintah setempat menerima banyak sekali klaim terkait objek-objek ganjil di angkasa. Masa-masa itu serta merta menjadi masa-masa paranoia, namun bukan berarti ketakutan itu murni disebabkan oleh UFO.
Sebaliknya, tren kecemasan pada hari-hari tersebut bersinggungan dengan Perang Dingin serta perlombaan Amerika Serikat dan Uni Soviet di penjelajahan antariksa, yang kemudian diproyeksikan kepada eksistensi UFO.
[…] hal ini menciptakan situasi di mana alien dapat digunakan untuk mewakili ketakutan terhadap komunisme dan pemusnahan massal oleh atom, serta menyampaikan kemungkinan bahwa kita mungkin diselamatkan oleh peradaban alien dari kebodohan kita.
John W. Trapaghan
Gelombang masif penampakan UFO memaksa pemerintah setempat agar mengambil tindakan preventif. Pada tahun 1953, salah satu komite ilmiah Amerika Serikat menyarankan CIA untuk melakukan kampanye dan edukasi—membatasi histeria UFO, sambil tetap menjaga optimisme masyarakat akan ekspedisi ke luar angkasa.
Antusias terhadap UFO dan alien terkalibrasi ulang ketika pesawat Challenger meledak di tahun 1986. Profesor politik Amerika Serikat, Jodi Dean, menilai bahwa tragedi itu memulai tren negatif ketertarikan massa kepada program-program antariksa. Di tengah-tengah nihilisme dan paranoia konspiratif di tahun 1980 sampai 1990-an, alien diimajinasikan kembali sebagai karakter antagonis—jahat, bandel, dan diam-diam suka mengganggu kehidupan manusia.
Pada periode tersebut, korban penculikan oleh alien menggantikan kehadiran astronaut di dalam media. Luar angkasa berubah menjadi tempat berbahaya yang penuh keajaiban tengik. Sementara pakar-pakar UFO konsisten menggunakan perspektif ilmiah untuk memvalidasi studi kehidupan di luar Bumi, kegagalan agar diterima masyarakat umum serta munculnya narasi penculikan oleh alien, berhasil menggeser UFO dari ruang-ruang ilmiah ke ruang-ruang agama dan metafisika.
Berbeda dari kecenderungan sosial di tahun 1950-an, kabar-kabar seputar UFO di tahun 1980-an dan 1990-an berfokus kepada pengalaman pribadi yang bersifat mistis dan klenik. Huru-hara alien mengudara ke tempo baru menjadi sesuatu yang disebut jurnalis David Clarke sebagai salah satu ekspor unggulan Amerika Serikat. Tentu, faktor utama mengapa kabar-kabar itu menarik ialah teka-tekinya—belum dapat dibuktikan benar atau tidak.
Tapi, meski alien belum 100% nyata dan ada, apakah kita cukup egois berpikir bahwa manusia ialah satu-satunya kehidupan berakal di alam semesta?
Sembari bersikap optimis terhadap kehidupan asing di antariksa, penting agar memelihara sangsi yang sehat kepada klaim-klaim seseorang telah bertemu UFO atau alien. Khususnya keterangan-keterangan yang mengulang premis-premis media, novel, komik, dan film terkait alien. Contoh terbaik adalah frasa “piring terbang”—ditulis berdasarkan misinterpretasi ketika Arnold mengudara di atas Washington.
Clarke mencatat penggunaan istilah “piring terbang” terjadi pertama kali setelah Arnold berbagi cerita bahwa ia menyaksikan objek cakram dan menyerupai bulan sabit, bergerak cepat meluncur di atas permukaan air. Seorang jurnalis tampaknya membuat kesalahan minor dan menyebut objek misterius itu berbentuk piring terbang. Setelah term “piring terbang” beredar, pakar UFO Martin S. Kottmeyer memperkirakan ada sekitar 82% laporan penculikan alien melibatkan kendaraan berupa piring terbang.
Lainnya lagi, Clarke mencatat sebagian besar klaim atas penampakan UFO di tahun 1970-an menyebut pesawat berbentuk segitiga berwarna hitam. Entah disengaja atau tidak, penampakan-penampakan UFO tersebut menyerupai struktur Imperial Star Destroyer—wahana terbang karakter fiksi yang populer di periode sama, Darth Vader.
Fenomena serupa terjadi di tahun 1961, pada saat Betty dan Barney Hill mengungkap klaim tiba-tiba pingsan di tengah perjalanan panjang. Dibantu oleh terapi hipnosis, mereka menggambarkan pertemuan dengan alien bermata melingkar. Kottmeyer menaksir sosok itu menyerupai karakter alien di salah satu episode The Outer Limits, yang didistribusikan kurang lebih dua minggu sebelum terapi hipnosis dilakukan.
Pertanyaanku sekarang, apakah media-media Amerika Serikat memang akurat mengimajinasikan alien, atau daya pikir kolektif kita bersama yang sungguh-sungguh mudah dipengaruhi?
Apakah alien benar-benar ada dan nyata?
Clarke menegaskan jika banyak aspek mitos tentang alien berasal dari imajinasi kolektif dan fiksi ilmiah yang telah mengisi otak manusia secara bersama-sama selama lebih dari satu abad. Mungkin indikasi terbaik bahwa sebagian besar klaim penampakan UFO dan alien adalah kesalahan datang dari astronom Alan Hendry.
Dia melakukan studi pada tahun 1976—menganalisis 1.300 klaim pengamatan UFO serta alien, dan berhasil menemukan pengantara logis dari sebagian besar kasus. Salah satu temuannya menyatakan orang-orang cenderung keliru pada saat melihat Venus sebagai UFO.
Paralel bersama Hendry, sejumlah akademisi memahami klaim-klaim penampakan UFO dan alien juga terjadi akibat gangguan tidur, ilusi optik, dan hilangnya daya konsentrasi sesaat. Berangkat dari temuan-temuan itu, pemerintah Amerika Serikat mulai memperkenalkan term UAP atau unidentified anomalous phenomena sebagai rujukan lebih tepat.
Kalau klaim-klaim pertemuan dengan UFO dan alien adalah kesalahan, mengapa mitos-mitos itu tetap menyebar secara merata di Amerika Serikat, kemudian dunia, dan dipercaya pada jangka waktu panjang? Atau justru UFO dan alien menawarkan petunjuk tentang iklim sosial kita di periode tertentu?
John W. Trapaghan memberi nasihat agar mempertimbangkan momen-momen kultural, dan yang mampu mendorong antusias publik terhadap misteri. Sebagai contoh: revolusi budaya, ketidakstabilan situasi politik, serta perubahan iklim sosial besar-besaran.
Mencukil catatan Diana Walsh Pasulka, setelah Uni Soviet runtuh, ketertarikan publik terhadap paranormal mulai tumbuh di kawasan Eropa Timur. Syaman, cenayang, hingga pawang hantu menguasai panggung-panggung media pada saat itu.
Tapi mengapa soal-soal klenik, mistis, dan bersifat paranormal, tidak terkecuali UFO dan alien, bisa menarik minat manusia di masa-masa perubahan dan gejolak sosial?
Fenomena asing seperti kehidupan di luar Bumi menyajikan kerangka imajinasi dan bahasa baru untuk memahami keberadaan manusia dan tempatnya di alam semesta. Peralihan dan guncangan besar tentu menuntut perubahan paradigma signifikan demi memahami dunia sekali lagi dan peran kita di dalamnya. Laporan-laporan tentang UFO dan alien bisa merefleksikan manusia kepada dirinya sendiri.
Kembali ke abad ke-20, UFO dan alien secara khusus berbicara soal kecemasan di era digital, di mana teknologi baru berhasil menghilangkan batasan-batasan waktu dan ruang yang sebelumnya mampu dipegang oleh manusia. Di jaringan dunia digital, di mana situasi domestik bisa menjadi isu global, yang tidak nyata bisa menjadi nyata, kita tanpa sadar merekonstruksi ulang posisi manusia di alam semesta menjadi alien.
Kedudukan itu, sialnya, justru menghadirkan rasa tidak nyaman, kepanikan, juga kehilangan kontrol atas batas-batas yang konkret. Gagasan-gagasan tentang UFO dan alien mengizinkan manusia melanggar akal sehat, sehingga memahami kembali ketidakstabilan di kehidupan nyata.
Alien merupakan salah satu avatar terbaik di masa-masa perubahan dan gejolak sosial. Makhluk asing dari antariksa itu membantu manusia memproyeksikan rasa tidak nyaman dan menemukan arti di balik kecemasan kolektif.
Proyeksi sama mungkin memicu ide-ide bahwa alien—jika diberi kesempatan—akan menginvasi kehidupan di Bumi hari ini. Ide-ide yang sesuai sejarah peradaban manusia itu sendiri—dominasi, penjajahan, dan perebutan wilayah. Bersama-sama, kita belum mampu mengimajinasikan alien akan berperilaku berbeda dari manusia.
Bagaimana dampak penemuan alien terhadap manusia?
Sementara alien adalah proyeksi apik bagi masa-masa perubahan dan gejolak sosial, eksistensinya menawarkan lebih banyak gagasan daripada sekadar metafora. Ada nilai-nilai keagamaan melekat erat pada sosok alien dan UFO di imajinasi populer. Pakar studi keagamaan, Jeffrey J. Kripal, bekerja sama dengan penulis Whitley Strieber, mencatat kalau pengalaman-pengalaman modern tentang alien yang turun dari langit dapat menyerupai pengalaman-pengalaman ortodoks soal Tuhan yang (juga) dipercaya turun dari langit.
Melintas di era progresif yang semakin sekuler, alien dapat menjadi jembatan di antara diskusi alot agama dengan sains. Jika agama memberi gagasan bahwa umat manusia bermula dari kemurahan hati Tuhan, sains menyajikan ide sekiranya umat manusia (masih) hidup sendirian saja di luar angkasa yang luas, tidak bermula, tidak berakhir, dan tidak kenal ampun.
Mitos-mitos tentang alien dapat berperan sebagai jalan tengah di antara sains yang hampa dan misteriusnya agama. Secara tidak langsung ia mengakomodasi kebutuhan emosional kolektif apabila manusia tidak sendirian di alam semesta.
Hanya perlu kita catat bersama, jika eksistensi alien terbukti benar, dampaknya bagi keseharian manusia akan signifikan dan tajam. Mengacu kepada pertanyaan pembuka—apakah kita, secara kolektif, sudah siap menerima bukti-bukti definitif keberadaan alien atau apa pun itu bentuk kehidupan cerdas di luar Bumi?
Emil du Bois-Reymond pernah mengurai dua disrupsi besar terhadap ego manusia. Pertama adalah ketika Copernicus menemukan alam semesta sebenarnya tidak berputar mengelilingi Bumi—mengakhiri ide ilmiah geosentris, dan secara otomatis menyudahi persepsi bahwa umat manusia adalah pusat alam semesta. Disrupsi kedua datang dari Charles Darwin pada saat publikasi teori evolusi. Risetnya berkesimpulan bahwa cikal bakal manusia bermula dari hewan, dan dengan demikian menggoyang kepercayaan kalau manusia merupakan makhluk hidup istimewa.
Melanjutkan gagasan Raymond, Sigmund Freud mengajukan teori ketidaksadaran sebagai disrupsi ketiga. Ia berargumen manusia bukan tuan atas pikirannya sendiri. Kita bahkan tidak mengetahui secara paripurna apa-apa saja yang sedang terjadi di dalam otak, pikiran, dan akal.
Masing-masing disrupsi itu datang membawa perubahan budaya besar sebagai dampaknya. Disrupsi-disrupsi itu selamanya mengubah cara manusia memahami umatnya sendiri secara kolektif, pun kehidupan di sekitarnya. Apabila manusia pada akhirnya menemukan, menerima, mengolah bukti-bukti, dan bertemu alien atau bentuk kehidupan cerdas lainnya di luar Bumi, itu akan menjadi disrupsi keempat. Sulit membayangkan seperti apa dampak yang mengikuti.
Konfirmasi kehidupan ekstraterestrial akan memiliki dampak luas, mulai dari teknologi, dinamika sosial, politik, hingga budaya, dan sulit juga menerka apakah dampak-dampak itu sepenuhnya positif atau negatif.
Berbekal gagasan Raymond, Freud, dan catatan sejarah peradaban manusia, aku ingin mengusulkan reaksi alternatif ketika keberadaan alien dapat dibuktikan kebenarannya. Pertama, agar selalu diingat bahwa sebagian besar kepercayaan (baca: agama) memandang umat manusia sebagai tokoh utama di antara kosmos—pemahaman yang segera runtuh di hadapan alien. Yang kedua, mengadopsi paradigma baru, bahwa alam semesta memiliki tujuan dan umat manusia tidak pernah relevan bagi tujuan itu. Kita hanya celaka yang kebetulan terjadi.
Bersama paradigma baru, meski alien mendarat di depan rumah, aku percaya umat manusia tidak akan panik dan kehilangan arah secara kolektif. Bersama-sama, kita akan mampu setia kepada tujuan mulia modernitas. Misalnya, cicilan iPhone 16 Super Mega Ultimate Pro Max.