Peringatan: Artikel ini mengacu kepada serial manga Dan Da Dan serta berpotensi spoiler adaptasi anime-nya.

Serial manga Dan Da Dan mengikuti petualangan Momo Ayase dan Ken Takakura (Okarun). Dua siswa SMA memiliki keyakinan saling bertolak belakang terkait makhluk asing dan supernatural. Momo percaya jika hantu benar-benar ada dan skeptis terhadap alien, sementara Okarun menilai percakapan klenik tentang roh halus sebagai sesuatu yang konyol dan yakin alien itu nyata. Ketika mereka bertaruh membuktikan kepercayaan masing-masing, kompleksitas terjadi. Hantu dan alien muncul di hadapan mereka berdua.

Begitu premis utama Dan Da Dan—hantu dan alien datang tiba-tiba. Mereka saling serang satu sama lain, berusaha mendominasi kehidupan manusia. Pada saat bersamaan, dua remaja terjebak di antaranya, mencoba menghindar dari segala macam keterlibatan. Okarun terjebak kutukan roh—menerima kekuatan magis tidak terduga, namun harus kehilangan buah pelirnya. Beruntung, nenek Momo, Seiko, adalah seorang pegiat spiritual dan sudah mempersiapkan cucunya berhadapan dengan makhluk-makhluk supernatural.

Petualangan dimulai. Momo bersedia membantu Okarun mendapatkan kembali bagian tubuhnya yang direbut roh nenek tua pemarah.

Salah satu cuplikan adegan di serial manga Dan Da Dan ketika Momo dan Okarun bertemu alien.

Eksplorasi terhadap polarisasi, isolasi, dan keterasingan

Bagi penggemar shōnen, premis Dan Da Dan bukan sesuatu yang baru. Ia dibangun di atas ekspektasi bahwa shōnen memang memiliki karakter-karakter menarik secara visual, bergerak dinamis nan cekatan menggiring alur cerita tanpa perlu basa-basi membangun dunianya. Dan Da Dan menyajikan kisah sederhana, mudah diakses, melaju cepat, akan tetapi kualitasnya tidak serta merta ringkas.

Tanpa bermaksud berlebihan, Dan Da Dan cerdik menjelajah bagaimana akhirnya sekelompok manusia bisa bersatu dan hidup berdampingan. Seperti judul-judul shōnen pendahulunya (One Piece, Fullmetal Alchemist, atau Chainsaw Man), ia menyusun narasinya dari pengalaman remaja-remaja terasingkan, lalu berkomunitas, dan komunitas itu berevolusi setelah melewati berbagai macam konflik. Uniknya sentuhan magis Yukinobu Tatsu mengeskalasi bahaya membantu penjelajahan itu semakin kentara.

Persekutuan di antara remaja-remaja “absurd” pun memperkuat kecerdikan cerita. Di tengah-tengah keramaian diskursus akademik berfokus kepada epidemi kesepian, isolasi manusia dari lingkungan, dan perpecahan idealisme yang tidak sehat pada beberapa tahun terakhir, dongeng muda-mudi abnormal melawan monster-monster menyeramkan justru atraktif membagi pesan soal siasat hidup bersama-sama dan berkolaborasi.

Mengapa, ya, Dan Da Dan terasa begitu relevan dengan keseharian kita? Apa karena meningkatnya tingkat depresi dan kecemasan global memicu keinginan kita melarikan diri ke dunia fantasi? Apa kita sedang mencari ketenangan dari petualangan fiksi ilmiah di mana ancaman-ancaman bahaya dapat kita hadapi secara strategis atau dengan pukulan telak ke wajah si pembuat masalah, sementara dunia kita sedang kacau balau tidak terkendali? Atau, Dan Da Dan menawarkan pelarian spesifik dari keadaan-keadaan tidak tertahankan?

Banyak studi kasus telah mendiagnosis lahirnya polarisasi ekstrem di kehidupan modern. Khususnya pada satu dekade terakhir, ada peningkatan yang mengkhawatirkan terkait rasa ketidakpercayaan terhadap mereka yang tidak berkiblat kepada—salah satu atau lebih—nilai sebuah kelompok. Perbedaan perspektif terhadap isu sosial atau kebijakan tidak lagi menjadi perihal yang dapat diperdebatkan seimbang, tapi pertarungan moral absolut bagi siapa pun yang berani menunjukkan perbedaan pendapat, meski perbedaan itu berjarak hanya seruas jari.

Tanpa harus menimba ilmu setinggi langit, kita paham cara hidup seperti itu sungguh jauh dari ideal.

Ketakutan mengatakan sesuatu yang berpotensi menyinggung, menyensor diri agar tidak mengganggu ide-ide berbeda dari golongan lain, serta serampangan memberi label bagi setiap selisih adalah siasat meresahkan hidup berdampingan. Tentu kompleksitas itu terasa signifikan apabila dibandingkan fiksi sederhana di mana tantangan terbesarnya merupakan seekor kaiju raksasa penghancur rumah. Terutama karena, meskipun rumahmu luluh lantak, teman-teman berkekuatan super dapat membangun kembali rumahmu secepat kilat.

Kita belum memiliki solusi semudah Dan Da Dan. Kekecewaan atas ketidakmampuan kolektif untuk hidup lebih progresif, skeptisme kronis terhadap otoritas, dan bayang-bayang apokalips semakin mempersulit daya upaya kita agar terhubung satu sama lain. Kalau tiada tempat positif dituju dan kita dibiarkan mengais-ngais kebutuhan dasar sebelum mati sia-sia, apa manfaatnya membangun hubungan? Kalau hubungan sosial dengan kerabat-kerabat terdekat saja yang layak diperjuangkan, mengapa tidak memprioritaskan hubungan-hubungan itu dan menghindari komplikasi eksternal?

Sensasi mendebarkan ketika kita berbagi sesuatu bersama orang-orang di luar echo chamber telah memudar di era individualisme. Aktivitas berdiskusi langsung bertukar cerita, pengalaman, atau pendapat terus-menerus diakuisisi oleh algoritma media sosial yang handal membentuk gelembung informasi.

Internet perlahan membawa kita ke kotak-kotak gaib yang mudah dikendalikan menurut kebutuhan pemodal dan pemilik bisnis. Sebagai pengguna, ruang jelajah kita justru mengecil—terbatas oleh nilai-nilai yang sudah kita setujui sebelumnya.

Salah satu cuplikan adegan di serial manga Dan Da Dan ketika Momo dan beberapa kerabatnya bertemu UFO.

Pecahkan saja gelembung informasinya, biar ramai

Momo merendahkan gagasan bahwa keberadaan alien cuma konspirasi orang-orang eksentrik, sedangkan Okarun mencemooh mereka yang mengakui eksistensi hantu dan gosip-gosip mistis. Cerita pembuka Dan Da Dan digiring oleh arogansi dua remaja SMA ingin menunjukkan kebenaran masing-masing dan membuktikan kalau pendapat lainnya adalah salah. Menariknya, mereka mampu mencapai kompromi—bertaruh saling mengunjungi “sarang” alien dan hantu.

Dan Da Dan berargumen jika saling berbagi dan menerima sesuatu dengan orang-orang di luar echo chamber kita adalah kebaikan—merupakan bagian dari strategi apik membangun komunitas. Meski konsep ini tampak klise dan sederhana, bersama-sama kita telah lupa cara melakukannya. Sialnya lagi, realitas kita di antara media sosial sering begitu terpaku kepada kelompok, tokoh, atau ideologi yang (mungkin) dipuja seseorang. Alih-alih membangun jembatan bagi setiap pandangan, keterpakuan itu justru membangun tembok tebal tinggi menjulang.

Penting dicatat, memang ada banyak keadaan yang membutuhkan keberpihakan prinsip. Hanya saja, kecenderungan kita—manusia modern—mengelompokkan setiap orang ke kotak-kotak label sesuka hati di setiap waktu telah memperkuat isolasi dan keterasingan. Kita lebih peduli kepada validasi label yang melekat kepada identitas kita dan orang lain.

Memilih-milih alternatif rekonsiliasi, kami mengajukan Dan Da Dan sebagai narasi tandingan terhadap isu kolektif kita hari ini—isolasi dan keterasingan. Melewati setiap babak, hubungan Momo dan Okarun perlahan saling mendekat, begitu juga pertemanan mereka dengan remaja-remaja absurd lainnya yang terus-menerus mereka temui. Komunitas mereka berkembang dan karakter senantiasa bertambah. Premis berkelanjutannya pun terbentuk—Momo, Okarun, dan Seiko dipaksa menavigasikan setiap keanehan dan kepribadian baru di tengah-tengah keterasingan mereka dari persekutuan lebih besar.

Persekutuan itu adalah manusia modern.

Kategori: