Secara ilmiah, gerhana Bulan ialah momen ketika matahari, Bumi, dan Bulan berada di posisi sejajar. Tapi apa jadinya, ya, kalau manusia memahami gerhana Bulan bukan dari kacamata ilmiah?
Berjuta-juta manusia akan mendapatkan kesempatan kedua menyimak gerhana di tahun 2023. Berselang 2 minggu dari gerhana matahari hibrida, pada akhir pekan nanti, 5-6 Mei 2023, satelit organik Bumi, Bulan, akan mengalami gerhana. Meski tidak terjadi total, gerhana Bulan penumbra tetap menarik untuk disimak. Apalagi pada waktu bersamaan, para pengamat angkasa juga bisa berburu hujan meteor Eta Aquarid. Megah sekali, bukan?
Gerhana Bulan penumbra berlangsung pada saat Bulan melintas di area bayangan luar Bumi, yang disebut penumbra. Akibat tidak melewati zona gelap bayangan Bumi (umbra), jenis gerhana ini biasa terlihat lebih samar dan susah diperhatikan. Apabila teriring cuaca cerah, Bulan pun nantinya berwarna merah dan lebih gelap, seperti sedang sakit, atau disakiti.
Betul, oleh sebagian besar cerita rakyat, gerhana—Bulan dan matahari—dipahami sebagai keadaan di mana objek-objek antariksa tersebut sedang menerima gangguan, mengalami perusakan, atau pertanda terjadinya peristiwa-peristiwa signifikan di dalam waktu dekat, entah baik atau buruk. Tentu bukan perihal mengejutkan, sebab ide-ide soal pengaruh benda-benda langit terhadap kehidupan manusia memang masih mengakar kuat.
Lalu, bagaimana mitos, legenda, dan kepercayaan di peradaban manusia selama ini memahami gerhana Bulan?
Makhluk seram dan angan-angan jahat
Oleh kebudayaan Bali, gerhana Bulan erat hadirnya bersama legenda Kala Rau. Konon ketika cintanya ditolak oleh Dewi Ratih (Dewi Bulan), raksasa menyeramkan di Balidwipa itu merespon dengan menyerang Wisnuloka, tempat perlindungan Dewi Ratih. Tidak ingin kerajaannya hancur dan dewa-dewi lainnya terluka, Dewa Wisnu lantas membagikan tirta amerta (air kehidupan).
Sialnya, Kala Rau, yang sempat menyamar sebagai Dewa Kuwera, ikut menikmati air kehidupan itu.
Menyadari bahwa Dewa Kuwera sebenarnya adalah Kala Rau, Dewa Wisnu segera memanah si leher raksasa. Tubuh Kala Rau pun terbelah dua, badannya terjun ke Bumi menjadi lumpang kayu panjang dan kepalanya melayang-melayang di angkasa. Sebab ia berhasil meminum tirta amerta, kepala Kala Rau kini terus hidup menanti purnama.
Pada saat purnama, Kala Rau memajuh memakan Dewi Ratih yang mempesona. Ia berharap jika cintanya sudah masuk ke perut, maka mereka menyatu abadi. Tapi angan cuma angan saja, Dewi Ratih muncul kembali ke angkasa sedikit demi sedikit. Ia selalu terlepas dari obsesi Kala Rau, dan menerangi gelap malam dengan indah cahayanya.
Serupa cerita rakyat Bali, banyak peradaban lain memahami gerhana Bulan melalui kisah-kisah jahat dari makhluk-makhluk mengerikan. Penduduk Inca di masa lalu menafsirkan warna merah gerhana akibat seekor jaguar berukuran besar sedang melahap Bulan. Mereka yakin setelah Bulan dihabisi, jaguar itu akan mengarahkan perhatian ke Bumi. Oleh demikan, penduduk Inca berusaha menakut-nakuti jaguar menggunakan tombak, teriakan keras nan kasar, serta gonggongan anjing.
Sementara di Mesopotamia kuno, gerhana Bulan dianggap serangan langsung kepada raja. Mengandalkan kemampuan akurat memprediksi waktu terjadinya gerhana, kerajaan melindungi keselamatan penguasanya menggunakan sosok bayangan. Sesaat sebelum dan selama gerhana berlangsung, raja tiruan akan berpura-pura memimpin kerajaan, sementara raja sebenarnya bersembunyi di ruang aman hingga Bulan kembali terang.
Sinyal untuk kembali pulih dari pesakitan
Meski berasosiasi dekat dengan pesakitan, gerhana Bulan tidak melulu soal cerita rakyat yang menegangkan. Oleh beberapa peradaban, ia justru dipahami sebagai tanda-tanda tepat bagi umat manusia untuk memulihkan diri.
Suku Batammaliba di Togo dan Benin percaya jika gerhana Bulan terjadi pada saat matahari dan Bulan sedang berselisih paham. Mereka kemudian akan berpura-pura membujuk keduanya untuk menemukan resolusi—sampai pada saatnya Bulan kembali terang benderang. Mengacu kepada kepercayaan itu, suku Batammaliba percaya kalau gerhana Bulan ialah momen tepat untuk menyelesaikan konflik apa saja, baik itu dengan orang lain atau diri sendiri.
Lainnya lag, suku Hupa dan Luiseño dari California menginterpretasikan gerhana Bulan sama halnya seperti Bulan yang sedang terluka hebat. Selama gerhana berlangsung, dia membutuhkan bantuan untuk proses penyembuhan, baik oleh “istri-istri Bulan” atau anggota suku. Suku Luiseño, misalnya, akan bernyanyi dan menyuarakan syair-syair penyembuhan ke arah Bulan yang gelap di angkasa.
Nah, pertanyaanku sekarang, kamu mau menyembuhkan apa saat gerhana Bulan nanti?